Thursday 16 October 2008

Berilmu dan Berbudi

Seorang pelajar ingin belajar ilmu Islam, lalu belajarlah ia dua tiga hadist dari gurunya. Kemudian dia sudah menghafal sedikit banyak ayat Al-Qur’an. Gurunya itulah satu-satunya yang dijadikan sumber rujukan.
Segala-galanya yang betul datangnya dari gurunya dan pasti tiada salah. Lalu ia mulai bermain dengan persoalan hokum. Sebab dirasanya diri sudah cukup ilmu untuk berfatwa. Apa-apa yang tidak berkenan atau bertentangan dengan pendapatnya dia mengatakan itu adalah sesat.

Hingga habis dihukuminya semua ulama yang muktabar. Mujtahid adalah tersilap dalam pandangannya. Dengan memberi alas an yang dirasanya paling kukuh; ulama tidak maksum, berhujjah mrdtilah mrngikut dalil yang paling sahih dan terkuat.
Malangnya, yang betul bagunya adalah ulama yang ia ikut, tetapi ulama yang lain pasti salah. Dan berkemungkinan aqidah para ulama itu terkeluar dari ahlusunnah wal jama’ah. Manakala dalil yang terkuat baginya pula dari ulama yang ia ta’asubkan.
Bermulalah era baru yang didzikirkan di bibirnya adalah-itu haram, ini bid’ah, engkau sesat!
Sedangkan para ulama yang faqih berkelana di bumi Allah untuk mencari ribuan guru, bahkan menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan hingga kini amat menjaga akhlaq sesame guru dan ulama yang lain.
Jika para ulama yang hebat ilmunya itu sendiri amat menjaga tutur katanya, tidak bermudah-mudah berhukum dengan apa yang mereka ketahui, mengapa yang amat sedikit ilmu tidak belajar untuk merendahkan diri?
Allah dan Rosulnya mengajarkan akhlak yang baik sesama manusia dari segi pertuturan, perbuatan, bahkan dalam hati sendiri. Apa lagi dengan sesama saudara Islam. Islam mengajar umatnya untuk beradap kepada guru-guru, ustadz-ustadzah, dan alim ulama karena keutamaan mereka dihadapan Allah.
“Sebenarnya yang takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu…” (Al-Fatir : 28).
Wallohu ‘alam bishowab…
From Mutiara Amaly Magazine

No comments: